Keliling Pontianak menggunakan Kendaraan Tradisional



Jam merahku berbunyi dengan kencang. Aku melihat ke arah jamku dan segera menghentikan suara yang nyaring itu. Aku membuka pintu menuju ke balkoni dan melihat rumah-rumah berderetan yang gelap sambil menikmati angin sepoi-sepoi. 

Aku segera menutup pintu balkoni dan membuka pintu kamarku yang berwarna biru langit dengan sangat perlahan. Aku segera berjalan menuju kamar kedua orang tuaku dan berniat membangunkan mereka berdua.

“Tok… tok… tok…” aku mengetuk pintu kamar orang tuaku. Mamaku segera membuka pintu. Aku melihat mukanya yang masih sayu, baru bangun tidur. Keluargaku memang berencana untuk naik sepeda pada pagi ini bersama kedua adik sepupuku yang bernama WIllsen dan Winny, tentu saja jugs bersama kedua orang tuanya yang biasa aku panggil kou-kou (bahasa tio ciu untuk bibi) dan tio-tio (bahasa tio ciu untuk paman).

Bersama mama, kami berusaha membangunkan papa yang masih mendengkur di kasur yang bermotif bunga. Akhirnya, setelah papa bangun, kami bersiap-siap.

“Titt… Titt…” aku mencoba menggunakan klakson sepedaku. Aku memang memasang semacam bel yang bersuara seperti klakson motor karena para pengendara motor, bahkan pejalan kaki yang biasanya tidak terlalu mendengar suara bel sepeda.
Setelah semua siap, kami berangkat!

Aku mengengkol sepedaku dengan semangat, berusaha mendahului mamaku. Namun, mamaku lebih cepat. Wajar saja, sepeda mama itu sepeda sport, sedangkan sepedaku hanya sepeda biasa dengan keranjang didepannya.

Setelah mendekati lampu merah di bundaran bamburuncing, kami melihat adik sepupuku di seberang jalan. Aku mengerem sepedaku dan mengikuti mamaku untuk berbelok. Aku dan adik sepupuku berbincang sebentar sembari menunggu mama, papa, kou-kou, dan tio-tio membicarakan rute yang akan kami lewati hari ini.

Kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan pertama yaitu rumah adik sepupuku yang lain, Cindy dan Christine. Kami melewati Bundaran bamburuncing. Aku jadi teringat usaha pahlawan dalam mengusir penjajah yang sudah menggunakan senjata modern, namun, para pahlawan kita hanya menggunakan bambu yang sudah diruncingkan. Serta ada air mancur yang bercahaya bagaikan berlian ketika diterpa sinar matahari yang membuat tenggorokanku sontak terasa kering.

Perjalanan menuju rumah Cindy tak terasa begitu lama karena kami mengengkol sepeda sambil berbincang-bincang, mungkin lebih tepatnya saling teriak karena jarak sepeda kami satu sama lain lumayan jauh.

“Cindy! Tittt! Christinee! Kringg!” kami memanggil Cindy dan Christine dengan menggunakan bel dan teriakan sehingga ketika kedua suara tersebut bercampur menjadi sangat ribut.

Cindy keluar, masih menggunakan baju tidurnya. Kami mengajaknya untuk ikut naik sepeda bersama kami. Tapi, dia hanya mau menggunakan sepeda kecilnya. Sepeda kecil yang mungkin sudah terlalu kecil untuk anak kelas satu SD seperti Cindy. Akhirnya, kami mengajak Cindy. Namun, Cindy menggunakan sepeda Winny dan Winny dibonceng oleh kou-kou.

Kami pergi ke kompleks UnTan (Universitas Tanjungpura) untuk menunggu Cindy yang dikawal oleh tio-tio. Aku turun dari sadel sepedaku dan menghirup udara segar pagi hari sembari meregangkan otot-ototku yang lumayan capek.

Kami harus menunggu sekitar beberapa menit sampai Cindy datang. Setelah Cindy datang, kami lanjut lagi ke area Car Free Day. Aku kembali naik ke sadel sepeda dan mengengkol lagi, tak lupa menaikkan gigi sepedaku hingga ke gigi enam agar lebih cepat.

Car Free Day sangatlah ramai. Dipenuhi oleh orang-orang yang ingin jogging santai, bersepeda, senam, naik sepatu roda, bahkan karate. Kami berencana ingin mencari makanan ringan karena perut kami yang sudah meronta-ronta kelaparan sedari tadi karena hanya diisi air putih. Setelah menemukan beberapa kedai, kami berhenti. Mama pergi membeli molen (kue yang ada pisang di dalamnya), sedangkan papa pergi membeli es jeruk. Makanan dan minuman tersebut cukup menunda lapar kami.

Kami segera pergi meninggalkan area kedai tersebut karena teringat Willsen harus mengikuti lomba matematika. Aku menaikkan standar sepedaku dan segera mengayuh sepedaku. Lumayan susah juga mengayuh sepeda diantara kerumunan orang. Aku sudah membunyikan klakson sepedaku dengan yaring, namun para pejalan kaki bukannya menepi, malahan mereka menertawakanku.
 
Willsen dan papa berhasil melewati kerumunan tersebut dan segera mengayuh sepeda tersebut secepatnya. Sedangkan kami menunggu semuanya berhasil melewati kerumunan baru kami melanjutkan perjalanan. 

Ternyata, di jalan raya sedang diadakan parade. Terpaksa, kami menunggu paradenya selesai. Mungkin papa dan Willsen sudah berhasil melewati jalan raya.

Paradenya lumayan meriah. Tentang kesehatan. Banyak orang memegang spanduk bertuliskan macam-macam, misalnya HIV AIDS, bahaya merokok, dll. 

Kami segera melewati orang-orang parade setelah ada celah sedikit. Akhirnya, kami berhasil kembali ke rumahku. Willsen segera pergi lomba. Sedangkan kami pergi makan. Setelah pergi makan, semuanya kembali ke rumah masing-masing.

Komentar

Postingan Populer